Setelah Nabi Muhammad kembali ke bumi dan menceritakan
peristiwa isra’ mi’raj–yang digambarkan sebagai traveling spiritual-transedental yang sangat menakjubkan–,para
sahabat tidak langsung menerima dan percaya. Beberapa sahabat bertanya-tanya,
bagaimana mungkin Nabi dapat menempuh perjalanan yang sangat jauh–(isra) dari
masjidil al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jarussalem, lalu
dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi’raj) dari Qubbah As Sakhrah menuju
ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian)–dalam waktu yang sangat singkat?
Di tengah kebingungan
antara percaya dan tidak akan peristiwa isra’ mi’raj tersebut, sahabat agung Abu
Bakar Al-Sidiq, memberikan pernyataan : ” apabila Muhammad yang mengatakannya,
pastilah benar adanya. Sungguh saya telah mempercayainya lebih dari itu”.
Pernyataan Abu Bakar ini menggambarkan, betapa Nabi Muhammad adalah sosok
pemimpin yang sangat dipercaya.
Terlepas dari kapasitas Muhammad sebagai nabi dan rasul,
tapi beliau juga manusia biasa yang tumbuh dan berkembang dalam realitas sosial
masyarakat di bumi. Dia bukanlah “produk impor” langit yang mutu kesuciannya terjamin
seratus persen, bagaimanapun juga, Muhammad adalah “produk domestik” yang lahir
di tengah setting sosial kehidupan
masyarakat di bumi.
Sebagai manusia biasa tentu Nabi tidak luput dari
kuman-kuman kesalahan dan bakteri kekeliuran. Hanya saja Nabi memiliki sistem “imunitas
spiritual” super tangguh yang membuatnya sangat kebal dari serangan “virus-virus”
godaan duniawi, karena selalu berpegang teguh pada suara hati nurani yang suci.
Oleh karenanya, Nabi mampu tampil sebagai figur “pemimpin transformatif” terbaik
dengan keteladanan yang tinggi dan agung (uswatun
hasanah). Dengan demikian, keteladanan kepemimpinan Nabi yang jujur,
amanah, punya kepekaan dan tanggung jawab yang tinggi dalam upaya pembangunan
peradaban ummat, merupakan proses dan pergulatan yang bersifat natural.
Mencari Pemimpin sebagai Sosok Uswah
Sebagai ummat dan
bangsa Indonesia
yang saat ini tengah berjuang keras lepas dari keterpurukan di segala lini
kehidupan, tentu kita sudah lama rindu berat akan hadirnya sosok pemimpin yang
dapat dijadikan uswah (teladan) dalam
upaya caracter building bangsa ini. Bagaimana
mungkin kita dapat membangun demokrasi sejati dan sesungguhnya–yang telah kita
yakini dapat menjadi pil mujarab bagi penyehatan tata kesejahteraan hidup
masyarakat–ketika demokrasi hanyalah semata urusan prosedural-tekhnikal yang
hanya manis di bibir elite, tetapi hambar di bibir rakyat. Rakyat tidak butuh
prosedur, mekanisme dan tata cara bagaimana demokrasi itu dijalankan, tetapi
yang dibutuhkan adalah, integritas elite sebagai pemimpin dan pengemban amanah
demokrasi, dapat tampil sebagai sosok-sosok demokrat sejati yang, dengan
kejujuran, keikhlasan dan ketulusannya, mau berkorban dan memberikan pengabdian
terbaiknya bagi terciptanya rasa keadilan dan kenyamanan hidup mayarakat.
Untuk itu, menjadi pemimpin tidak hanya cukup bermodalkan
materi, tapi juga harus punya bekal nurani. Dengan berpegang teguh pada nurani
sebagai lentera, cahaya atau petunjuk untuk menapaki jalan kepemimpinan, seorang
pemimpin akan memiliki sistem “imunitas moral-spritual” yang membuatnya
terhindar dari pola kepemimpinan “transaksional” yang didasarkan pada negosiasi
sektarian temporal dari kelompok pialang kepentingan yang bermain di sekitar
kekuasaan. Kepemimpinan “transaksional” inilah, yang selama ini kental mewarnai
panggung kekuasaan politik nasional, dan telah membuat elite bangsa mati rasa
dan kehilangan kepekaannya terhadap penderitaan berkepanjangan para kaum (musthad’afin), mereka yang lemah secara
politik, sosial, dan ekonomi.
Mi’raj dan Penyucian Nurani
Baru-baru ini
(tanggal 8 Juli 2009), rakyat Indonesia telah menentukan pilihan seorang
pemimpin, siapapun orangnya yang nantinya akan terpilih dan memimpin di puncak
piramida kekuasaan, kita harapkan dapat mejadikan momentum isra’ mi’raj ini,
sebagai media pembersihan hati dan nuraninya dari kerak-kerak noda nafsu
kekuasaan serakah dan tamak. Karena dengan nurani yang jernih, ia akan memperlakukan
suara rakyat bukan sekedar angka-angka dan prosentase untuk melakukan bargaining politik ketika berbagi
kekuasaan dengan rekanan koalisi.Tetapi suara rakyat adalah “suara suci” yang
harus dihargai, sehingga tampuk kekuasaan yang dipercayakan kepadanya, adalah
amanah dan tugas suci yang harus diemban dalam memperjuangkan nasib rakyat yang
sekian dasawarsa merindukan rasa keadilan, perlindungan, dan keyamanan hidup di
republik ini.
Kita sungguh
berharap, pemimpin kita nanti, presiden ke-7 dan wakil presiden yang telah kita
pilih, punya kemauan besar untuk tidak sekedar menjadi pemimpin “biasa-biasa”
saja ala “pemimpin transaksional”, tetapi punya cita-cita luhur untuk menjadi
“pemimpin transformatif” yang sanggup memahami dan memecahkan pelbagai problem
bangsa (the nation’s problem solver).
Melakukan pemihakan total terhadap kepentingan umum, utamanya pada kalangan
marjinal yang jumlahnya puluhan juta, tersebar di seantero nusantara, dari
perkotaan sampai ke pelosok-pelosok desa.
Sosok “pemimpin
transformatif” itulah sosok pemimpin uswah
yang ingin kita teladani, sebagaimana ditunjukkan Nabi Muhammad dalam membangun
peradaban masyarakat Arab saat itu. Meski jenis pemimpin ini terbilang langka,
tak terkecuali di negeri kita ini, kita tentu terus berharap agar kita segara
memiliki pemimpin kharismatik yang dapat kita jadikan panutan dan teladan, bukan
sekedar “pemimpin biasa” tetapi “pemimpin transformatif “ dan monumental yang
akan kita kenang dengan takzim sepanjang zaman.

Penulis Adalah Alumnus Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat
ini Sebagai Penghulu Muda KUA Kec. Karangjati.
Posting Komentar