Menyaksikan wajah bangsa kita akhir-akhir ini, rasanya
kita mufakat. Jika kita patut prihatin dan terenyuh. Nampak moral politik
bangsa kita masih lemah dan rapuh. Kita sedih dan prihatin,
melihat pemimpin tertinggi di puncak piramida kekuasaan, simbol kenegaraan yang semestinya menjadi panutan dan teladan harus dihujat disimbolkan secara tidak manusiawi.
melihat pemimpin tertinggi di puncak piramida kekuasaan, simbol kenegaraan yang semestinya menjadi panutan dan teladan harus dihujat disimbolkan secara tidak manusiawi.
Bukankah para
elit bangsa yang saat ini berkuasa adalah orang yang kita pilih secara terbuka?
Kenapa hanya dalam hitungan seratus hari, sudah menaruh sesal dan seolah
kehilangan kepercayaan kepada mereka? Tidakkah terlalu dini untuk menilai
kinerja pemerintah dan tergesa menyimpulkan
telah gagal?
telah gagal?
Kita tentu
menyesalkan, aksi protes para demonstran yang menuntut penuntasan pelbagai
skandal politik dan hukum,terutama megaskandal Bang Century, semestinya tidak
dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis. Tapi inilah wajah demokrasi kita,
yang suka atau tidak, harus diterima dengan kebesaran jiwa.
Namun yang
terpenting dan harus dicatat dalam buku harian para elite politik adalah: bahwa
rakyat sudah lama mengidap sindrom
distrust, yakni mudah kehilangan kepercayaan dikarenakan kepercayaan dan
amanah yang telah diembankan di pundak
para pemimpin, tak kunjung dapat ditunaikan secara baik. Ketulusan rakyat
memberikan suaranya dalam memilih para elite politik, seyogianya harus dipahami
sebagai ketulusan yang bersyarat. Dalam konteks inilah aksi aksi demontrasi
masyarakat yang belakangan marak di berbagai tempat bisa dipahami. Membiarkan
rakyat menunggu terlalu lama adanya perubahan dan perbaikan hidup mereka—yang
tak kunjung bisa dirasakan secara signifikan—sama halnya dengan mengundang
mereka untuk menggugat. Sementara di sisi lain, rakyat sudah jenuh disuguhi
tontonan aneka megaskandal korupsi yang menyedot trilyunan uang rakyat.
Apa yang
menjadi harapan rakyat yang sekian lama didambakan adalah, tegaknya moral
poltik bangsa. Para elite bangsalah yang
semestinya paling bertanggungjawab dan harus berada di garda terdepan dalam
menegakkan sendi-sendi moral politik bangsa yang lama limbung dan menjadi sumber
penyakit sosial, politik dan ekonomi yang masih menggurita dalam kehidupan
kita.
Nilai-nilai
luhur pancasila yang telah terpinggirkan dan tergusur dari perilaku politik dan
ekonomi para elite politik yang berada di puncak piramida kekuasaan, sudah
saatnya dikukuhkan kembali sebagai visi moral politik untuk memayungi
kekuasaan. Karena kekuasaan tanpa visi moral-transedental, hanya akan membuat
hati nurani buta dan akal sehat terbelenggu oleh nafsu serakah dan tamak.
Inilah kita masih tertatih-tatih dalam menentukan corak masa depan bangsa di
tengah persaingan global yang makin mengganas.
Tanpa
tegaknya moral politik bangsa, maka demokrasi yang terlanjur diyakini dan
dikultuskan dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, akan kehilangan
orientasi dan cepat “pensiun dini” karena gagal mencapai tujuan akhirnya (ultimate goal) dalam menciptakan
kenyamanan dan kesejahteraan hidup rakyat. Dapatkah demokrasi berprestasi dalam
menurunkan angka kemiskinan, mengurangi pengangguran, menciptakan pemerataan
dan keadilan di segala bidang kehidupan? Semuanya berpulang pada tekad elite
bangsa untuk mengurus demokrasi secara sungguh-sungguh. Karena jika tidak,
demokrasi tidak akan lulus ujian dan hanya akan membuat rakyat makin frustasi. Kemauan
dan keseriusan elite bangsa untuk menegakkan nilai-nilai moral politik bangsa,
akan mendongkrak kinerja demokrasi berfungsi efektif dalam menghadirkan
kesejahteraan bagi rakyat.
Tegaknya
moral politik bangsa, dapat membuat kekuasaan menjelma sebagai “tangan-tangan”
suci yang mengulurkan pertolongan akan penderitaan rakyat yang terhimpit
kemiskinan dan terjebak di lingkaran keterbelakangan. Inilah yang dipesankan the founding fathers kita, Bung Karno : bahwa pemimpin itu harus
menjalankan Ampera atau amanat penderitaan rakyat. Maksud Bung Karno bahwa
memimpin itu menjalankan amanat rakyat untuk menghilangkan penderitaan atas
kemiskinan hidup mereka. Bung Hatta juga tak lupa berpesan, “janganlah telah
merasa berbuat apa-apa jika dari gubuk-gubuk masih terdengar jerit penderitaan
rakyat.”
Melalui
momentum Maulid Nabi ini, kita harapkan para elite bangsa, melakukan
reintropeksi dan koreksi total, untuk menarik ulang bandul politik Nasional
yang terlepas dari pendulum nilai-nilai luhur pancasila. Mengembalikan politik
ke fitrah luhurnya : memperjuangkan cita-cita dan kebajikan bersama.
Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam menegakkan sistem politik dan
ekonomi yang berbasiskan pada nilai-nilai moral-transedental. Sehingga mampu
membawa masyarakat Arab jahiliyah keluar
dari kungkungan sistem sosial lama yang melanggengkan penindasan, perbudakan,
kesenjangan sosial dan ketidakadilan, menuju tata masyarakat yang berperadaban
egalitarian dan berkeadilan sosial.
Ketulusan dan
kecintaan rasulullah, serta pemihakan yang total terhadap kaum musthad’afin—kaum yang lemah tertindas
secara sosial, politik dan ekonomi—,telah menempatkan beliau sebagai sosok
revolusioner yang akan selalu dikenang dengan takzim, sebagai pemimpin
monumental sepanjang zaman. Jejak-jejak perjuangan rasulullah dalam membangun
peradaban kehidupan yang luhur, semoga dapat menginspirasi para elite bangsa
kita, untuk segera kembali ke jalur politik yang berkhidmat pada kemaslahatan
bersama. Sudah teramat dalam kerinduan rakyat Indonesia pada sosok pemimpin yang
dengan tulus mencintai rakyatnya. Memberikan perlindungan dan pembelaan serta
pengayoman terhadap hidup mereka. Inilah sosok pemimpin teladan dan panutan
yang kita harapkan. Bukan sosok pemimpin yang sekedar menjadi “tontonan!”
Posting Komentar