Idul Adha adalah representasi dialektika batiniyah antara hamba
dengan Tuhannya. Memperingati Idul Qurban sama halnya dengan merayakan
simbolisme kedekatan Sang kekasih (Kholilullah) dengan Sang Pencipta. Menyambut
hari raya yang tepat di 10 Dzulhijjah ini tak ubahnya dengan selebrasi
kelulusan hamba atas ujian menjawab atribut ke-aku-an dalam diri. Pendek kata,
Idul Adha niscaya diletakkan sebagai titik hitung (ceck point) dalam proses
membaca diri, menelaah, menganalisa, mengkritisi dan mendidik diri. Maka hari
raya idul adha hanya akan menjadi rutinitas tahunan 'bagi-bagi daging', apabila
semata dipahami sebagai upacara syar'i penyembelihan hewan kurban.
Pertama, sebagai dialektika batiniyah. Sebagai sang mesias yang
mendapat julukan kekasih Allah (Kholilullah), Ibrahim mengalami mimpi aneh.
Sebuah mimpi agar ia menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Mimpi itu menantang
Ibrahim membuktikan prosentase cintanya, lebih besar mana: antara cinta kepada
anak ataukah cintanya kepada Tuhan. Ibrahim gelisah, ragu dan sekaligus
bimbang. Gelisah akan kecintaan kepada sang anak. Ragu dan bimbang apakah ini
benar2 perintah langsung dari Sang Pencipta. Dari sudut manusiawi, kegelisahan
Ibrahim ini wajar, bagaimana mungkin tega menyembelih anak yang amat
dicintainya. Demikian halnya, keraguannya pun manusiawi: 'masak iya' Tuhan
sekejam itu menyuruhnya menyembelih anaknya. Jangan2 mimpi itu hanyalah hasutan
iblis. Ibrahim pun merenung, ber-tadabbur, dan ber-muhasabah.
Mengapa harus melalui mimpi? Agar tidak ada keraguan dalam diri
Ibrahim, bukankah Tuhan dapat memerintahkan malaikat untuk memberitahu Ibrahim?
Tuhan bahkan bisa langsung memberitahu Ibrahim? Bagi saya, mimpi yang dipilih
Tuhan untuk menyapa Ibrahim adalah ruang jeda atas kebutuhan melakukan
permenungan. Dalam hidup, kita butuh jeda untuk permenungan semacam itu. Jeda
dibutuhkan sebagai ruang kosong (kesunyian) dalam upaya ijtihad dialektis
menemukan diri sebagai hamba (identitas) dan untuk menjumpai diri sejati
(personalitas).
Dari permenungan mimpi itu, Ibrahim memperoleh pelajaran
kehidupan bahwa anak yang ia miliki bukanlah hak milik, demikian pula harta,
tahta dan status sosial. Semua yang ia punya sejatinya hanyalah sebuah
'pinjaman' dari sang Pencipta. Semua itu milik Tuhan semata.
Proses dialektika batin Ibrahim dipertaruhkan: apakah lebih
mementingkan ego (pengakuan kepemilikan dan keakuan) ataukah mengutamakan
kediriannya sebagai hamba yang tdk tahu apa-apa, tdk punya apa-apa, dan tdk
bisa apa-apa. Sebuah kesadaran bahwa dunia ibarat sinetron komedi yang menyajikan
skenario permainan dan lelucon (la'ibun wa lahwun). Proses permenungan ini
lantas dinamakan 'tarwiyah' (berpikir/bermenung). Kita mengabadikan hal itu
dengan puasa tarwiyah pada 8 Dzulhijjah.
Kedua, simbolisme kedekatan antara kekasih dengan Sang Pencipta.
Telah dinyatakan dalam berbagai kitab suci agama-agama, bahwa manusia adalah
ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan paling dicintai. Seisi alam raya semata
fasilitas, hiburan dan aksesoris yang dipersembahkan Tuhan untuk manusia.
Saking cintanya kepada manusia, sampai-sampai Dia sendiri mendaulat manusia
sebagai 'Wakil Tuhan di muka bumi' (Innii ja'ilun fil ardhi Kholifah). Maka
manusia adalah ciptaan 'terkasih' Tuhan. Meski mempunyai banyak nama, tetapi
Tuhan menegaskan kehadiranNya ditengah manusia sebagai Yang Maha Kasih dan Yang
Maha Sayang, baik sebagai 'Arrahman' (kasih sayang yang meluas) maupun sebagai
'Arrahim' (kasih sayang yang mendalam).
Bisa jadi, perintah penyembelihan Ismail oleh Ibrahim melalui
mimpi itu merupakan teguran sayangnya Tuhan kepada hambaNya. Jangan sampai
jalinan cinta kasih yang terhubung antara hamba dan Tuhan itu terkontaminasi
oleh kecintaan duniawi. Agar sinergi kontinum sistem alam raya selalu berpihak
pada manusia. Sebab alam raya berjalan dalam sistem pengagungan kepada Tuhan
(tasbih): 'Sabbaha lillahi ma fissamawati wama fil ardhi.' Dengan kata lain,
jika ada ciptaan yang tidak mengagungkan Sang Penciptanya, maka ciptaan ini
akan mengalami anomali (rusak dan menyimpang). Pada konteks inilah Tuhan
memperingatkan Ibrahim selaku ciptaan terkasihNya.
Layaknya hubungan cinta dan kasih sayang, selalu ada cemburu.
Seperti pepatah bilang, "cemburu adalah tanda cinta." Demikian halnya
Tuhan. Dia Maha Cemburu. Ya, Tuhan memang Maha Pencemburu. Sebab laknatNya
diberikan kepada ciptaan yang mengingkari cinta kasihNya (wa lain kafartum inna
'adzabii lasyadid). Bahkan saking cemburunya, Dia mengutuk perbuatan
menduakanNya (menyekutukan/syirik): Innasy syirka la dulmun 'adhim. Barangkali
atas dasar tanda cinta yang bernama cemburu inilah, Tuhan memperingatkan
Ibrahim. Demikian gambaran simbolik kedekatan dan kemesraan antara hamba dan
Tuhannya.
Ketiga, selebrasi kelulusan mengatasi atribut pengakuan dan
keakuan. Seharian penuh Ibrahim galau dan gundah memikirkan mimpinya, dalam proses
permenungan itu kehadiran iblis begitu dominan menguji kecintaan Ibrahim kepada
Tuhan. Ditengah kegalauan, ibrahim bermimpi untuk kesekian kalinya. Hingga
tumbuh keyakinan bahwa mimpi ini jelas perintah Allah. akhirnya, diceritakanlah
mimpinya kepada sang istri, siti Hajar (ibu Ismail). Hajar berkata tulus ikhlas
menekan segala cinta dunia, "Kalau memang menyembelih Ismail adalah
perintah dariNya, maka harus dilaksanakan, tanpa ragu tanpa takut."
Demikian halnya Ismail saat diberitahu sang ayah. Dengan penuh penerimaan
Ismail menyetujui perintah tersebut dan menutup persetujuannya dengan kalimat
indah, "Insya Allah ayah akan menemukanku dalam golongan orang-orang
sholeh" (satajiduni insya Allah minash sholihin). Dialog antara ayah, ibu
dan anak ini jelas menggambarkan tiga nilai kehidupan sekaligus, yakni:
keyakinan, kepasrahan dan penerimaan.
Mendudukkan (nglungguhno/wuquf) tiga nilai kehidupan (yakin,
pasrah, dan nerima) itu akan memosisikan kesadaran dalam upaya mengetahui
(arafah) posisi diri. Dengan begitu, segala atribut pengakuan dan keakuan
secara otomatis akan tersingkir seiring teguhnya dimensi penghambaan. Maka itu,
kita memperingati puasa arafah yang artinya mengerti, yakni mengerti posisi
hamba dalam upaya penyatuan (tauhid) dengan Tuhannya. Puasa arafah dilaksanakan
pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Setelah melakukan permenungan (tarwiyah) dan mendudukkan (wuquf)
pengertian-pemahaman (arafah), lengkaplah sudah dimensi uluhiyah dalam diri
sang hamba. Maka menyembelih hewan kurban dapat dimaknai sebagai simbolisasi
penyembelihan nafsu hewani yang ada dalam diri manusia. Nafsu hewani yang dapat
mewujud dalam kerakusan, egoisme, homo homini lupus, maupun
adigang-adigung-adiguna harus disembelih dan diputuskan dari urat nadi
mentalitas dan perilaku kita. Sehingga akhirnya akan mengonversi pikiran,
perasaan dan hawa nafsu menjadi akal, hati dan ruh. Dengan begitu, kita akan
semakin dekat dengan sang Pencipta, sebagaimana arti qurban yang berasal dari
kata qoroba-yaqrobu-qurban (dekat/kedekatan). 'Ala kulli hal, Idul Adha adalah
momentum wisuda dan penerimaan ijazah kelulusan pencapaian manusia pada
kesejatian diri melalui kesadaran tauhid (penyatuan). Semoga Allah senantiasa
menganugerahi kita izin, ridho dan hidayahNya, Amiin. Wallahu A'lam bishowab.
Jakarta, 1September 2017
Penulis : Adalah Alumnus Fak Tarbiyah Uinsa Surabaya, Ahli Bidang Politik dan Aktivis Sosial. Tinggal di Jakarta.