Latest Post
Loading...

Cek Porporasi Haji

Kua Adalah Muara Cinta

Kua Adalah Muara Cinta

Mutiara Hikmah

'Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)' (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah)
Selamat Datang di Blog KUA Kec. Karangjati Kankemenag Kab. Ngawi.... Menuju KUA Bersih dan Melayani

Musabaqah Tilawatil Qur'an Wilayah Timur, Kec.Kasereman, Padas, Bringin, Karangjati, Pangkur : HAB Kemenag Kab. Ngawi ke-72.

Hari ini, Selasa tanggal 12 Desember 2017, bertempat di aula Masjid Besar Kec. Karangjati diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Kecamatan di wilayah timur meliputi Kec. Kasereman, Padas, Bringin, Karangjati dan Pangkur.  Acara MTQ ini merupakan acara prioritas dalam seluruh rangkaian kegiatan peringatan Hari Amal Bakti (HAB) Kemenag Kab. Ngawi yang ke-72. Acara MTQ kali ini memperlombakan 3 cabang dan 5 kategori, yaitu : cabang Tilawah untuk kategori anak dan remaja, Khath Al Qur’an kategori anak dan remaja, dan Cabang Tartil. Acara MTQ ini cukup mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat, terbukti dengan banyaknya peserta yang mengikuti MTQ ini mencapai kurang lebih 150 peserta. Bapak Camat Karangjati selaku Muspika dalam sambutannya menyampaikan, menyambut baik acara MTQ ini dan berharap dari acara ini muncul bibit-bibit baru yang ke depannya dapat mengharumkan Kab. Ngawi dalam even-even MTQ baik di tingkat Provinsi Maupun di tingkat Nasional.

 Acara ini dibuka langsung oleh Kepala Kantor Kemenag Kab. Ngawi, bapak  Drs. H.Zainal Arifin, M.Pd.I. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa, acara prioritas ini dapat mendorong masyarakat khususnya kalangan anak-anak dan remaja untuk cinta Al-Qur’an, tidak hanya gemar dan pintar membaca Al-Qur’an tapi juga bisa mengamalkan isinya. Selain itu, acara MTQ tingkat kecamatan ini, diharapkan dapat menjadi media yang baik bagi tumbuh kembangnya bibit-bibit baru yang punya kemampuan di bidang Al-Qur’an. 

Pembinaan Peningkatan Kualitas Menegemen KUA

Hari ini, Selasa 5 Desember 2017, seluruh civitas Kua—mulai dari Kepala Kua, Penghulu, Penyuluh dan JFU--se Kabupaten Ngawi berkumpul di RM Sejahtera Hj Maimun  Rong Road Barat  Jl. Ir Soekarno Beran, untuk mengikuti kegiatan Pembinaan yg diselenggarakan oleh seksi Bimas Islam Kementerian Agama Kab. Ngawi.  Acara yang bertajuk, Peningkatan Kualitas Menegemen Lembaga Kantor KUA ini, menghadirkan Nara Sumber dari Kantor Kementerian Agama Kanwil Jawa Timur, Bapak H. Amanulloh, S.Ag M.H.I (Kasi Kepenghuluan Bidang Binsyar  Kemenag Kanwil Jatim).
H. Suroto M.Ag selaku Kasi Bimas Islam Kemenag Ngawi, dalam sambutannya menyampaikan, acara ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang handal di bidang masing-masing dan meningkatkan kredibitas apatur Kua dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Acara ini dibuka langsung oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Ngawi, Drs. H. Zainal Arifin, M.Pd.I dalam sambutannya beliau menyampaikan, agar aparat Kua senantiasa meningkatkan kinerjanya sehingga ke depannya Kua semakin lebih baik. Selain itu, hendaknya Menegemen Administrasi semakin dibenahi dan senantiasa bekerja berdasar pada garis aturan yang seharusnya.

Kegiatan BIMTEK Pembuatan Website/Blog bagi Para Penghulu dan Staf KUA Kemenag Kab. Ngawi

Pada hari kamis tanggal 30 November 2017, bertempat di Falma’s Jaya Abadi Kec. Jogorogo diadakan kegiatan Bimtek Pembuatan website/blog bagi Penghulu dan Staf Kua yang diadakan oleh Humas Kemenag Kab. Ngawi.  Dalam sambutannya, Pak Prihadi selaku Humas Kemenag Kab. Ngawi menyampaikan bahwa kegiatan Bimtek Pembuatan Website/Blog bagi Penghulu ini, dimaksudkan agar Kua ke depan semakin maju di bidang tekhnologi informasi dengan memanfaatkan media website/blog sebagai sarana publikasi informasi, pemikiran dan pengetahuan. Target kegiatan ini, menurut pak Prihadi semua Kua sudah mempunyai website/blog sendiri-sendiri, dan terbentuk kontributor penulis berita di setiap Kua. Kegiatan Bimtek ini dibuka langsung oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Ngawi, H. Zainal Arifin. Dalam sambutannya, beliau memberikan arahan dan motivasi agar para Penghulu dan Staf Kua selalu kreatif dan inovatif dalam berkinerja khususnya di bidang pemanfaatan tekhnologi informasi. Selain itu, menurut beliau, para Penghulu dan Staf Kua hendaknya pro aktif untuk mengambil peranan dalam membenahi Kantor Kua masing-masing agar Kua di Kab. Ngawi dapat memenuhi standar sebagai kantor pelayanan publik yang baik.

Jalannya kegiatan Bimtek ini dipandu oleh salah satu Blogger Kua. Mendapat sokongan akses internite yang cukup memadai acara dapat berjalan lancar, meskipun sempat terkendala karena banyak peserta yang mengaktifkan androidnya via wifi, setelah pak Prihadi meminta peserta mematikan wifi di androidnya, akses internite kembali lancar. Peserta mengikuti kegiatan ini dengan penuh antusias step by step mulai dari pengenalan dasar-dasar website/blog, memahami hosting dan domain sebuah website, cara mendaftar pembuatan website/blog, mengenal dasboard/ruang kerja, memahami tombol-tombol fungsi di dasboard, mengatur tata letak blog, membuat postingan, membuat link di postingan, menyisipkan gambar, video di postingan, mengenal script, membuat menu dropdown dan lain sebagainya. Alhamdulillah, meski kegiatan ini cukup singkat hanya beberapa jam, target kegiatan dapat tercapai, di mana semua Kua di Kab. Ngawi telah mempunyai hosting dan domain website masing-masing.  Semoga semangat ngeblog for Kua ini tidak berhenti di sini saja, tapi bisa dikembangkan ke depannya dan di Kua Kab. Ngawi dapat terbentuk komunitas Blogger untuk saling tukar informasi dan pengetahun di bidang pengelolaan website,

Renungan Sederhana Tentang Idul Adha, Oleh Zainal Lutfhi

Idul Adha adalah representasi dialektika batiniyah antara hamba dengan Tuhannya. Memperingati Idul Qurban sama halnya dengan merayakan simbolisme kedekatan Sang kekasih (Kholilullah) dengan Sang Pencipta. Menyambut hari raya yang tepat di 10 Dzulhijjah ini tak ubahnya dengan selebrasi kelulusan hamba atas ujian menjawab atribut ke-aku-an dalam diri. Pendek kata, Idul Adha niscaya diletakkan sebagai titik hitung (ceck point) dalam proses membaca diri, menelaah, menganalisa, mengkritisi dan mendidik diri. Maka hari raya idul adha hanya akan menjadi rutinitas tahunan 'bagi-bagi daging', apabila semata dipahami sebagai upacara syar'i penyembelihan hewan kurban.
Pertama, sebagai dialektika batiniyah. Sebagai sang mesias yang mendapat julukan kekasih Allah (Kholilullah), Ibrahim mengalami mimpi aneh. Sebuah mimpi agar ia menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Mimpi itu menantang Ibrahim membuktikan prosentase cintanya, lebih besar mana: antara cinta kepada anak ataukah cintanya kepada Tuhan. Ibrahim gelisah, ragu dan sekaligus bimbang. Gelisah akan kecintaan kepada sang anak. Ragu dan bimbang apakah ini benar2 perintah langsung dari Sang Pencipta. Dari sudut manusiawi, kegelisahan Ibrahim ini wajar, bagaimana mungkin tega menyembelih anak yang amat dicintainya. Demikian halnya, keraguannya pun manusiawi: 'masak iya' Tuhan sekejam itu menyuruhnya menyembelih anaknya. Jangan2 mimpi itu hanyalah hasutan iblis. Ibrahim pun merenung, ber-tadabbur, dan ber-muhasabah.
Mengapa harus melalui mimpi? Agar tidak ada keraguan dalam diri Ibrahim, bukankah Tuhan dapat memerintahkan malaikat untuk memberitahu Ibrahim? Tuhan bahkan bisa langsung memberitahu Ibrahim? Bagi saya, mimpi yang dipilih Tuhan untuk menyapa Ibrahim adalah ruang jeda atas kebutuhan melakukan permenungan. Dalam hidup, kita butuh jeda untuk permenungan semacam itu. Jeda dibutuhkan sebagai ruang kosong (kesunyian) dalam upaya ijtihad dialektis menemukan diri sebagai hamba (identitas) dan untuk menjumpai diri sejati (personalitas).
Dari permenungan mimpi itu, Ibrahim memperoleh pelajaran kehidupan bahwa anak yang ia miliki bukanlah hak milik, demikian pula harta, tahta dan status sosial. Semua yang ia punya sejatinya hanyalah sebuah 'pinjaman' dari sang Pencipta. Semua itu milik Tuhan semata.
Proses dialektika batin Ibrahim dipertaruhkan: apakah lebih mementingkan ego (pengakuan kepemilikan dan keakuan) ataukah mengutamakan kediriannya sebagai hamba yang tdk tahu apa-apa, tdk punya apa-apa, dan tdk bisa apa-apa. Sebuah kesadaran bahwa dunia ibarat sinetron komedi yang menyajikan skenario permainan dan lelucon (la'ibun wa lahwun). Proses permenungan ini lantas dinamakan 'tarwiyah' (berpikir/bermenung). Kita mengabadikan hal itu dengan puasa tarwiyah pada 8 Dzulhijjah.
Kedua, simbolisme kedekatan antara kekasih dengan Sang Pencipta. Telah dinyatakan dalam berbagai kitab suci agama-agama, bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan paling dicintai. Seisi alam raya semata fasilitas, hiburan dan aksesoris yang dipersembahkan Tuhan untuk manusia. Saking cintanya kepada manusia, sampai-sampai Dia sendiri mendaulat manusia sebagai 'Wakil Tuhan di muka bumi' (Innii ja'ilun fil ardhi Kholifah). Maka manusia adalah ciptaan 'terkasih' Tuhan. Meski mempunyai banyak nama, tetapi Tuhan menegaskan kehadiranNya ditengah manusia sebagai Yang Maha Kasih dan Yang Maha Sayang, baik sebagai 'Arrahman' (kasih sayang yang meluas) maupun sebagai 'Arrahim' (kasih sayang yang mendalam).
Bisa jadi, perintah penyembelihan Ismail oleh Ibrahim melalui mimpi itu merupakan teguran sayangnya Tuhan kepada hambaNya. Jangan sampai jalinan cinta kasih yang terhubung antara hamba dan Tuhan itu terkontaminasi oleh kecintaan duniawi. Agar sinergi kontinum sistem alam raya selalu berpihak pada manusia. Sebab alam raya berjalan dalam sistem pengagungan kepada Tuhan (tasbih): 'Sabbaha lillahi ma fissamawati wama fil ardhi.' Dengan kata lain, jika ada ciptaan yang tidak mengagungkan Sang Penciptanya, maka ciptaan ini akan mengalami anomali (rusak dan menyimpang). Pada konteks inilah Tuhan memperingatkan Ibrahim selaku ciptaan terkasihNya.
Layaknya hubungan cinta dan kasih sayang, selalu ada cemburu. Seperti pepatah bilang, "cemburu adalah tanda cinta." Demikian halnya Tuhan. Dia Maha Cemburu. Ya, Tuhan memang Maha Pencemburu. Sebab laknatNya diberikan kepada ciptaan yang mengingkari cinta kasihNya (wa lain kafartum inna 'adzabii lasyadid). Bahkan saking cemburunya, Dia mengutuk perbuatan menduakanNya (menyekutukan/syirik): Innasy syirka la dulmun 'adhim. Barangkali atas dasar tanda cinta yang bernama cemburu inilah, Tuhan memperingatkan Ibrahim. Demikian gambaran simbolik kedekatan dan kemesraan antara hamba dan Tuhannya.
Ketiga, selebrasi kelulusan mengatasi atribut pengakuan dan keakuan. Seharian penuh Ibrahim galau dan gundah memikirkan mimpinya, dalam proses permenungan itu kehadiran iblis begitu dominan menguji kecintaan Ibrahim kepada Tuhan. Ditengah kegalauan, ibrahim bermimpi untuk kesekian kalinya. Hingga tumbuh keyakinan bahwa mimpi ini jelas perintah Allah. akhirnya, diceritakanlah mimpinya kepada sang istri, siti Hajar (ibu Ismail). Hajar berkata tulus ikhlas menekan segala cinta dunia, "Kalau memang menyembelih Ismail adalah perintah dariNya, maka harus dilaksanakan, tanpa ragu tanpa takut." Demikian halnya Ismail saat diberitahu sang ayah. Dengan penuh penerimaan Ismail menyetujui perintah tersebut dan menutup persetujuannya dengan kalimat indah, "Insya Allah ayah akan menemukanku dalam golongan orang-orang sholeh" (satajiduni insya Allah minash sholihin). Dialog antara ayah, ibu dan anak ini jelas menggambarkan tiga nilai kehidupan sekaligus, yakni: keyakinan, kepasrahan dan penerimaan.
Mendudukkan (nglungguhno/wuquf) tiga nilai kehidupan (yakin, pasrah, dan nerima) itu akan memosisikan kesadaran dalam upaya mengetahui (arafah) posisi diri. Dengan begitu, segala atribut pengakuan dan keakuan secara otomatis akan tersingkir seiring teguhnya dimensi penghambaan. Maka itu, kita memperingati puasa arafah yang artinya mengerti, yakni mengerti posisi hamba dalam upaya penyatuan (tauhid) dengan Tuhannya. Puasa arafah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Setelah melakukan permenungan (tarwiyah) dan mendudukkan (wuquf) pengertian-pemahaman (arafah), lengkaplah sudah dimensi uluhiyah dalam diri sang hamba. Maka menyembelih hewan kurban dapat dimaknai sebagai simbolisasi penyembelihan nafsu hewani yang ada dalam diri manusia. Nafsu hewani yang dapat mewujud dalam kerakusan, egoisme, homo homini lupus, maupun adigang-adigung-adiguna harus disembelih dan diputuskan dari urat nadi mentalitas dan perilaku kita. Sehingga akhirnya akan mengonversi pikiran, perasaan dan hawa nafsu menjadi akal, hati dan ruh. Dengan begitu, kita akan semakin dekat dengan sang Pencipta, sebagaimana arti qurban yang berasal dari kata qoroba-yaqrobu-qurban (dekat/kedekatan). 'Ala kulli hal, Idul Adha adalah momentum wisuda dan penerimaan ijazah kelulusan pencapaian manusia pada kesejatian diri melalui kesadaran tauhid (penyatuan). Semoga Allah senantiasa menganugerahi kita izin, ridho dan hidayahNya, Amiin. Wallahu A'lam bishowab.

Jakarta, 1September 2017

Penulis : Adalah Alumnus Fak Tarbiyah Uinsa Surabaya, Ahli Bidang Politik dan Aktivis Sosial. Tinggal di Jakarta.


Puasa : Terapi Imunitas Keimanan.



Puasa : Terapi Imunitas Keimanan


Oleh : M. Shidqi


Bulan Ramadhan yang telah ditahbiskan oleh Allah sebagai bulan istemewa, di mana di dalamnya memuat peristiwa-peristiwa maha penting, seperti adanya malam lailatul qadhar, yang digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, begitu pula turunnya kitab suci al-quran yang untuk pertama kalinya terjadi di bulan suci ini. Hanya di bulan ini, para setan oleh Allah ditarik dari peredaran, untuk memberikan kesempatan yang sebaik-baiknya kepada manusia agar bisa khusuk beribadah. Hanya di bulan ini pula, Allah melakukan “cuci gudang” pahala, dengan melipatgandakan pahala dari setiap ibadah yang dilakukan manusia. Dan, memberikan “diskon" besar-besaran berupa pengampunan dosa-dosa yang telah lalu, jika di bulan ini, kita mau berintropeksi diri memohonkan ampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan. Karena itu, bulan Ramadhan disebut juga bulan maghfirah.

Renungan Jum'at Pagi : Mengingat Mati

Ketika Nabi mengetahui bahwa ajal menghampirinya, ia mengumpulkan sahabat terdekatnya. Mereka sangat sedih. Banyak di antara mereka yang merasa dirinya yang tidak dapat hidup tanpa bimbingan dan petunjuk beliau. Nabi menghibur mereka dengan berkata, "Aku akan meninggalkan dua orang guru. Yang pertama adalah guru yang berbicara dan yang yang lainnya adalah guru yang diam." Para sahabat mulai mengira-ngira identitas guru tersebut, lalu Nabi menambahkan, " Guru yang berbicara adalah Al Quran, dan guru yang diam adalah kematian."
Merenungi kematian adalah sarana luar biasa untuk mengeluarkan kita dari kebiasaan dan perilaku lama. Memiikirkan kematian adalah sebuah latihan untuk peka akan masa kini. Itulah jalan untuk memulai proses pertumbuhan diri.
Beberapa tahun lalu, dua orang pasien dijadwalkan untuk operasi di sebuah rumah sakit di istanbul. Yang pertama pria pria belia berpenyakit usus buntu, dan yang kedua pria tua berpenyakit kanker. Ahli bedah yang sama melakukan operasi pada kedua orang tersebut. Operasi usus buntu dilakukan secara sederhana dan berakhir dengan cepat. Ketika sang dokter mengoperasi pria yang bepenyakit kanker, ia melihat kanker tersebut sudah menyebar sedemikian rupa sehingga ia tidak mungkin lagi dioperasi. Ia sekedar menutup kembali pembedahan tersebut.
Sang dokter mengatakan bahwa si pemuda mungkin memiliki kesempatan hidup yang panjang, tetapi si pria tua tidak akan bertahan lama. Malam itu, pria muda tersebut meninggal dunia, dan dalam beberapa hari si pria tua meninggalkan rumah sakit. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke rumah sakit membawakan sang dokter buah-buahan dan sayuran segar dari kebunnya, tampaknya ia dalam kondisi kesehatan yang baik
Kita tidak mengetahui kapan lagi waktu yang kita miliki. Kita mungkin berpikir bahwa kita kuat dan sehat dan masih banyak memiliki waktu, tapi kita harus selalu sadar bahwa kematian dapat datang kapan saja. Bahkan, jika kita memiliki penyakit yang serius, seperti kanker, kita harus ingat bahwa jika Tuhan mengizinkan, kita mungkkin saja memiliki umur panjang
Mengenai kematian, kita harus menumbuhkan dua sikap penting. Pertama, kematian adalah keniscayaan. Kedua, menyadari bahwa kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita. Ia mungkin saja bulan depan atau beberapa tahun dari sekarang, namun kita tidak mengtehuinya dan tidak bisa memastikannya

Dikutip dari, Robert Frager, Psikologi Sufi, Jakarta: Zaman, 2014, hlm. 266

Hukum Nikah Tanpa KUA

Karena masalah pencatatan nikah ini termasuk masalah kontemporer, tak heran jika para ulama berbeda pandangan tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut :
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syarat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi dan sahabat.
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah.
3. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi; hanya, dia berdosa karena melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat
Setelah menimbang ketiga pendapat tersebut di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sah pernikahan sebagaimana telah berlalu. Hanya, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah maka wajib bagi kita untuk menaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari'at bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan yang banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hak yang sulit, bahkan betapa banyak penyeselan terjadi akibat pernikahan yang tidak tercatat di bagian resmi pemerintah
Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Arab Saudi yang diketuai oleh asy-Syaikh Abdul I Aziz ibn Baz dan beranggotakan : asy-Syaikh Abdurrazaq Alifi, Abdul Ilah al-Ghudayyan, dan Abdullah ibn Qu'ud :
Soal : Dalam undang-undang negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya datang ke kantor bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah di sana. Apakah ini merupakan nikah yang syar'i? Bila jawabannnya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? Perlu diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi sengketa?
Jawab : Apabila telah terjadi akad ijab qibul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya sah. Dan apabila secara undang-undang pencatatan aad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai baik di masa sekarang maupun di masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.

Inilah pula yang difatwakan oleh MUI, mereka menyatakan dalam fatwa mereka No 10 tahun 2008 :
Pertama : Ketentuan Umum
Nikah di bawah tangan yang dimaksud fatwa ini adalah "Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam figh, (hukum islam) namun tanpa pencatatan rsmi di instansi berwenang sebagimana diatur dalam peraturan perundang-undangan."
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dann rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharrat.
2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada isntansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negative/madharrat (saddan lidz-dzarri'ah)."
Kesimpulan
Dari keterangan di atas, dapat kita sebuah kesimpulan sebagai berikut :
  • 1. Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukukmnya sah selagi semua persyaratan nikkah telah terpenuhi.
  • 2. Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman nabi dan para sahabat; hal ini termasuk politik syar'i yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan memiliki banyak manfaat.
  • 3. Wajib bagi setiap muslim untuk menaati undang-undang tersebut dan tidak melanggarnya karena hal ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.


Dikutip dari, Abu Ubaidah Yususf bin Mukhtar as Sidawi, Fiqih Kontemporer, Gresik, Yayasan Al-Furqon Al Islami, 2014, hlm. 218

Renungan Jum'at Pagi : "Mengingat Mati"

Ketika Nabi mengetahui bahwa ajal menghampirinya, ia mengumpulkan sahabat-sahabat terdekatnya. Mereka sangat sedih. Banyak diantara mereka yang merasa dirinya tidak dapat hidup tanpa bimbingan dan petunjuk beliau. Nabi menghibur mereka dengan berkata, “Aku akan meninggalkan dua orang guru. Yang pertama adalah guru yang berbicara dan yang lainnya adalah guru  yang diam.” Para sahabat mulai mengira-ngira identitas guru tersebut, lalu Nabi menambahkan, “Guru yang berbicara adala Al-Qur’an, dan guru yang diam adalah kematian.”

Merenungi kematian adakah sarana kuar biasa untuk mengeluarkan diri kita dari kebiasaan dan perilaku lama. Memikirkan kematian adalah sebuah latihan untuk lebih peka akan masa kini. Itulah jalan untuk memulai proses pertumbuhan diri.

Beberapa tahun yang lalu, dua orang pasien dijadwalkan untuk operasi di sebuah rumah sakit besar di Istanbul. Yang pertama pria belia berpenyakit usus buntu, dan yang kedua pria tua berpenyakit kanker. Ahli bedah yang sama melakukan operasi pada kedua orang tersebut. Operasi usus buntu dilakukan dengan sederhana dan berahir cepat. Ketika sang dokter mengoperasi pria yang berpenyakit kanker, ia melihat kanker tersebut telah menyebar sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dioperasi. Ia sekedar menutup kembali pembedahan tersebut.
Sang dokter mengatakan bahwa si pemuda mungkin memiliki kesempatan hidup yang panjang, tetapi si pria tua itu tidak akan bertahan lama. Malam itu, pria muda tersebut meninggal dunia dan dalam beberapa hari si pria tua meninggalkan rumah sakit. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke rumah sakit membawakan sang dokter buah-buahan dan sayuran segar dari kebunnya, tampaknya ia dalam kondisi kesehatan yang baik.

Kita tidak mengetahui berapa lama lagi waktu yang kita miliki. Kita mungkin berpikir bahwa kita kuat dan sehat dan memiliki masih banyak waktu, tapi kita harus selalu sadar bahwa kematian dapat datang kapan saja. Bahkan, jika kita memiliki penyakit yang serius, seperti kanker, kita harus ingat bahwa jika Tuhan mengizinkan, kita mungkin saja memiliki umur panjang.

Mengenai kematian, kita harus menumbuhkan dua sikap penting. Pertama, kematian adalah keniscayaan. Kedua, menyadari bahwa kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita. Ia mungkin saja bulan depan atau beberapa tahun dari sekarang, namun kita kita tidak mengetahuinya dan memastikannya.  

Dikutip dari, Robert Frager, Psikologi Sufi, Jakarta: Zaman, 2014, hlm. 266

Meningkatkan Kompetensi dan Budaya Kerja Penghulu

Dalam rangka semakin membumikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam 5 Budaya Kerja Kemenag (Integritas, Profesional, Inovasi, Tanggungjawab, Keteladanan), yang telah di lounching tahun 2014 yang lalu--bersamaan dengan deklarasi Revolusi Mental Presiden Jokowi--, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarat Islam Kemenag RI, menggelar kegiatan Peningkatan Kompetensi dan Budaya Kerja Penghulu, bertempat di Hotel Swiss

 
Copyright © 2015 KUA KEC. KARANGJATI. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger